May 23, 2015

[Trip To] Curug Cimahi



Dari sekian banyak pilihan curug di kota kembang, entah kenapa curug ini yang menang pilihan. Mungkin karena ini salah satu curug paling tinggi di kota atau karena embel embel pelangi atau karena gue jatuh cinta pada pandangan pertama atau bisa jadi ketiganya. 


Berkendara ke arah kolonel masturi kami sempat tersendat di pasar dan jalanan menanjak berkelok yang gue lupa itu dimana karena kesadaran tiba tiba menghilang diterpa perut kenyang dan angin sepoi sepoi.


Gue percayakan Aa sebagai navigator, sementara gue dan Ri pulas beberapa saat sampai jalan yang lebar dan padat berubah sempit diapit rumah rumah warga dan mulai menanjak.

Setelah melewati belokan tajam, kami tiba di keramaian tepi jalan, banyak motor dan mobil parkir seadanya. Ternyata inilah curug cimahi, bukan di kaki gunung atau di atas bukit seperti yang gue bayangkan, ini guyuran air di bawah jalan yang tingginya menakjubkan.

Kami membeli tiket seharga 15.000/orang dan memulai langkah menapaki tangga turun ke bawah.


Ada balkon yang lumayan bagus buat foto foto, balkon pertama berkapasitas maksimal 16 orang, balkon ke dua yang lebih rendah berkapasitas 25 orang. Rajinlah menghitung sebelum ambil posisi.


Kami mampir sebentar untuk foto foto sebelum Mam teriak 'Itu pelangi!'. Benar saja, bias cahaya warna warni menusuk melintas derasnya air. Inilah kenapa curug cimahi dinamakan The Rainbow Waterfall. Bila datang di saat matahari di tempat yang tepat dan tak terhalang awan, pemandangan mahal macam gini sudah pasti milik kalian.


Kami gak sempet banyak ambil foto di sana karena gak sabar sampai di bawah. Turun dengan semangat dan hati hati karena tangga mulai licin–Aa bolak balik negur gue untuk pegangan dan turun pelan pelan, Aa bilang 'Nanti kalo keseleo gimana?' Gue merengut tapi nurut juga.


Tangga mulai habis tapi cipratan air mulai banyak dan lagi lagi pelangi  menyambut kedatangan kami.
"Itu di pojok kanan bawah"




Kelar foto foto, mari main air!!!

Airnya dangkal dan dingin, tapi cipratannya deras banget bikin lupa segala kesal. Lupa kalo habis ini harus mendaki untuk pulang.

Ya. Kalo tadi asik turun. Berarti pulang harus susah payah naik dengan baju basah kuyup.

Pas perjalanan naik baru ngeh ada label angka di tiap tangga, udah tangga ke sekian gue baru baca 489–tadi di bawah angka berapa dong ya?

Di tengah perjalanan kami mulai kehabisan nafas–ngg maksudnya gue dan Ri. Para pria sepertinya sehat sehat saja–Di belokan ke sekian gue nyeletuk 

"Jadi ini alasan kenapa pas kita turun tadi banyak cewe yang didorong dan ditarik pacarnya naik?" 
Ternyata pegel bok!

Aa bolak balik ngasih 'dorongan' ke gue. Ri bolak balik ngerayu Mam buat istirahat. Gak mau keujanan karena gak bakal ada tempat neduh, kami terpaksa dengan ngilu ngilu menghabiskan sisa undakan.

Sampai di atas gue liat angka 587 ditulis di batu. Mungkin itu jumlah anak tangga, gue juga gak tau. Mulai gerimis, gue buru buru ganti baju dan kami bergerak pulang.

Pukul 3.40 kami tiba di rest area 97 karena gue ngotot makan cuanki atau makanan apapun yang berkuah panas. Setelah menuhin tangki dan muterin parkiran sampai 4 kali. Kami mampir ke salah satu kedai yang rame banget.

Kedai Mandiri namanya, gak punya menu yang ditaro di meja atau dianter pelayan. Kami mengantri di depan etalase, minta 4 mangkok bakso kuah dan sepiring bakso tahu–ini kalo di bekasi namanya siomay–dan bayar di kasir dengan modal kepercayaan.

Gak nemu cuanki anget, makan bakso juga bolehlah. Kuahnya enak tapi harganya lumayan mahal buat 3 gelondong bakso kecil–13.500, seporsi bakso tahu yang gue abisin sendiri juga harganya 17.000 untuk 5 potong siomay kukus, atau kalian bisa ganti dengan tahu dan sayuran. Ada juga siomay ma tahu goreng sebijinya 10.000, menggoda sih tapi kalo pesen 5 biji 50.000 sendiri, lah mahalan siomay goreng daripada sekotak bolen keju -___-

 
Stay strong 
         
           and

Take a long walk darling 

0 Comment:

Post a Comment