July 8, 2015

Hari Ke Satu — Dia


 


Bukan salahku bila terlalu mudah jatuh cinta. Dibesarkan di tengah keluarga harmonis yang penuh kasih sayang membuatku percaya bahwa segala bentuk hal menyenangkan yang membuat hati berdebar karena bahagia adalah cinta.

Persoalan selanjutnya adalah aku tak lagi semuda itu untuk bisa mencintai siapapun semaukuwalau aku masih melakukannya beberapa kali.


Ia datang padaku kala petang, meyakinkan diri bahwa ini memang aku setelah ia berhasil memecahkan teka teki mudah perihal nomor teleponku. Percakapan kami mengalir seperti percakapan manusia asing ketika hendak saling mengenal sampai aku bilang padanya aku punya kekasih. Aku sudah memperingatkannya untuk tidak melangkah lebih jauh dalam hal ini.


Kekasihku yang tinggal tak jauh dari rumah dan sibuk bekerja, jarang menghubungiku via telepon, sementara pria ini—yang sepertinya punya banyak waktu luang—rutin memberi kabar dan mendengarkan semua cerita pahit dan manis tentang hubungan asmaraku.

Sebut aku gila.

Bukannya berusaha lari dari lingkaran rumit yang mungkin akan aku hadapi, aku malah bertemu muka dengan pria yang baru tiga bulan kukenal lewat media sosial. Apa yang membuatku ingin? Ah sederhana saja, aku sudah menolak ratusan kali tawaran 'kopdar' karena enggan pergi jauh dan pada tawaran kali itu ia bilang akan datang ke tempat dimanapun aku mau menunggunya.

Sebut aku bodoh.

Merasa penasaran seperti apa rupa fisik teman bicaraku, aku menunggunya sore itu, di sebuah sudut pertokoan, sendiri dalam rintik hujan. Aku ingat tak ingin lari, aku ingat tak ada ketakutan atau ancaman aku akan terluka, jadi aku menunggunya dengan sabar.

Sebut aku semau kalian.

Sebuah senyum dari seberang jalan, untuk pertama kalinya membuatku mati gaya. Ia menghampiri, memberi tangan untuk dijabat dan menawarkan susu cokelat hangat yang aku tolak.

Ya, aku menolak susu kotak hangat tapi mengajaknya makan malam di sebuah restoran.

Kami duduk berseberangan, aku memesan jus alpukat kesukaanku, ia memesan nasi goreng dan sebotol teh dingin. Percakapan kami tak senyaman ketika kami tak saling memandang, canggung. Aku menghabiskan diriku menilai rupa fisiknya, ia lebih tinggi beberapa senti dari kekasihku, kulitnya lebih gelap dan ia tidak terlalu gemuk.


Aku mengajaknya pulang karena sudah malam, ia bilang ingin bertemu lagi tapi aku bilang ini yang pertama dan terakhir, aku tak mungkin lagi sanggup membohongi kekasihku. Kulihat gurat kecewa besar dalam raut mukanya.

Aku menitipkan sebuah logam berukir pohon apel untuknya, kubilang "Ingatlah kita pernah bertemu walau sekali". Ia mengangguk dan membiarkanku berjalan menjauhi pandangannya.

0 Comment:

Post a Comment