April 21, 2015

Hubungan Bebas Hambatan

...biar ku bagi sedikit kisah yang berbeda dari dunia percintaan...


Kami sudah bersama sama lebih dari 5 tahun, hubungan kami selama tahun tahun itu seperti jalanan ibu kota ketika pagi di hari pertama libur lebaran. Lengang. Lancar. Damai. Bahagia. Bebas hambatan.

Kami berdebat di sekitar bagaimana telur harusnya dimasak dalam satu mangkok mie. Aku suka setengah matang ia minta dihancurkan. Aku ingin makan di ruang tanpa asap, ia harus bertemu udara segar. Aku yang selalu mengantri untuk memesan makanan, sementara ia yang membawa nampan. Aku menghabiskan kopi ketika panas, ia menunggu hingga dingin dan beberapa hal kecil lain yang bisa kami selesaikan.

Less stress. Much laugh and love.

Tapi segala hal yang mudahnyaris terlalu mudah—dalam jangka waktu lama seringkali membosankan. Setidaknya begitu, menurutku.

Anehnya waktu mulai terasa lebih menyenangkan ketika kami jauh, ketika tak saling menyapa, ketika tak ada pembicaraan.

Perlahan namu pasti bagian otakku yang lain pun ikut mempertanyakan, Kenapa aku butuh waktu untuk sendirian? Dimana aku yang dulu? Kenapa kali ini berbeda? Kenapa rasanya aku jahat?  Kenapa ini tak seperti biasanya?

Belum habis dijawab pertanyaan sengau itu, datanglah hari hari penuh bencana dimana kami lebih sering bertengkar, lebih jarang bertemu, aku lebih sering menangispadahal 5 tahun belakangan aku menangis hanya di saat nonton film atau karena tertawa terbahakkecewa, marah, kesal, kecewa lagi, marah lagi, kesal lagi.

Hingga masing masing dari kami terus mempertanyakan kadar cinta. 'Masihkah mencintaiku?' 'Masihkah ingin berjalan bersamaku?' dan pertanyaan lain seperti rasanya kami hampir menyerah tapi disaat bersamaan masing masing dari kami masih juga mempertahankan.

Lantas kami terus berjalan walau terseok dengan penuh rasa canggung bahkan kami bertata krama dengan kaku seperti orang asing yang baru saja bertemu.

Tentu saja banyak cara sudah dicoba untuk mengembalikan kecanggungan tapi belum ada yang bisa mencairkan bongkahan es dingin yang terlanjur membeku.

Berlarut larut hal yang menjengkelkan ini membuat perasaanku tak bernyawa, hampa. Tak marah, tak suka, tak cemburu, tak bernafsu melakukan apapun. Aku pergi bekerja seperti makhluk tak berperasa, pulang seperti biasa dan begitu hingga beberapa minggu.

Hingga malam itu, sebuah pelukan hangat begitu saja melelehkan bongkahan es besar yang membentengi, tawa kami berderai membahas tingkah bodoh selama beberapa hari.

"Kamu cuma rindu. Makanya marah marah mulu"

Begitu katanya.

Benarkah? Begini cara tubuhku secara tidak sadar meneriakkan rindu? Mengapa otakku bahkan tak tahu? Mengapa tak langsung saja bilang "Aku rindu temui aku" seperti aku yang biasa?

Tapi kemudian semua pertanyaan itu tak penting lagi. 

Aku kembali menginginkan ia tinggal lebih lama. Ingin ia selalu datang menyapa atau aku yang berusaha lebih dulu, ingin lagi menghirup dalam dalam wangi yang menguar dari tubuhnya, ingin kami tertawa dan bahagia seperti yang biasa kami lakukan.

Ya, aku mungkin pernah jenuh dengan hubungan bebas hambatan, namun itu tak berarti aku senang dengan pertengkaran atau perselisihanyang menyulitkanjenis apapun. 

Aku hanya butuh sedikit hentakan yang membuat sadar bahwa ia tetap satu satunya yang lari memeluk ketika aku limbung, yang satu satunya menertawakanku ketika aku menangis merajuk, yang satu satunya membawakanku pisau roti ketimbang boneka beruang besar yang selalu aku minta, yang satu satunya membuatku menginginkan cintanya lebih dari apapun di dunia.


"Bukan masalah jika kau bosan dengan sesuatu, itu manusiawi. Pada akhirnya kau juga yang memutuskan, balik mengerjakan sesuatu itu dan lebih menginginkannya dari semula atau berhenti karena berhasil tahu itu tidak pernah menyenangkan untukmu" —Vindi

0 Comment:

Post a Comment