Dari sekian banyak pilihan curug di kota kembang, entah kenapa curug ini yang menang pilihan. Mungkin karena ini salah satu curug paling tinggi di kota atau karena embel embel pelangi atau karena gue jatuh cinta pada pandangan pertama atau bisa jadi ketiganya.
Berkendara ke arah kolonel
masturi kami sempat tersendat di pasar dan jalanan menanjak berkelok yang gue
lupa itu dimana karena kesadaran tiba tiba menghilang diterpa perut kenyang dan
angin sepoi sepoi.
Gue percayakan Aa sebagai navigator, sementara gue dan Ri pulas beberapa saat sampai jalan yang lebar dan padat berubah sempit diapit rumah rumah warga dan mulai menanjak.
Setelah melewati belokan tajam,
kami tiba di keramaian tepi jalan, banyak motor dan mobil parkir seadanya.
Ternyata inilah curug cimahi, bukan di kaki gunung atau di atas bukit seperti
yang gue bayangkan, ini guyuran air di bawah jalan yang tingginya menakjubkan.
Kami membeli tiket seharga
15.000/orang dan memulai langkah menapaki tangga turun ke bawah.
Ada balkon yang lumayan bagus
buat foto foto, balkon pertama berkapasitas maksimal 16 orang, balkon ke dua
yang lebih rendah berkapasitas 25 orang. Rajinlah menghitung sebelum ambil
posisi.
Kami mampir sebentar untuk foto
foto sebelum Mam teriak 'Itu pelangi!'. Benar saja, bias cahaya warna warni
menusuk melintas derasnya air. Inilah kenapa curug cimahi
dinamakan The Rainbow Waterfall. Bila datang di saat matahari di tempat yang
tepat dan tak terhalang awan, pemandangan mahal macam gini sudah pasti milik
kalian.
Kami gak sempet banyak ambil
foto di sana karena gak sabar sampai di bawah. Turun dengan semangat dan hati
hati karena tangga mulai licin–Aa bolak balik negur gue untuk pegangan dan
turun pelan pelan, Aa bilang 'Nanti kalo keseleo gimana?' Gue merengut tapi
nurut juga.
Tangga mulai habis tapi cipratan air mulai banyak dan lagi lagi pelangi menyambut kedatangan kami.
Tangga mulai habis tapi cipratan air mulai banyak dan lagi lagi pelangi menyambut kedatangan kami.
"Itu di pojok kanan bawah" |
Airnya dangkal dan dingin, tapi
cipratannya deras banget bikin lupa segala kesal. Lupa kalo habis ini harus
mendaki untuk pulang.
Ya. Kalo tadi asik turun.
Berarti pulang harus susah payah naik dengan baju basah kuyup.
Pas perjalanan naik baru ngeh
ada label angka di tiap tangga, udah tangga ke sekian gue baru baca 489–tadi di
bawah angka berapa dong ya?
Di tengah perjalanan kami mulai
kehabisan nafas–ngg maksudnya gue dan Ri. Para pria sepertinya sehat sehat saja–Di
belokan ke sekian gue nyeletuk
"Jadi ini alasan kenapa pas kita turun tadi
banyak cewe yang didorong dan ditarik pacarnya naik?"
Ternyata pegel bok!
Aa bolak balik ngasih 'dorongan'
ke gue. Ri bolak balik ngerayu Mam buat istirahat. Gak mau keujanan karena gak
bakal ada tempat neduh, kami terpaksa dengan ngilu ngilu menghabiskan sisa
undakan.
Sampai di atas gue liat angka
587 ditulis di batu. Mungkin itu jumlah anak tangga, gue juga gak tau. Mulai
gerimis, gue buru buru ganti baju dan kami bergerak pulang.
Pukul 3.40 kami tiba di rest
area 97 karena gue ngotot makan cuanki atau makanan apapun yang berkuah panas.
Setelah menuhin tangki dan muterin parkiran sampai 4 kali. Kami mampir ke salah
satu kedai yang rame banget.
Kedai Mandiri namanya, gak punya
menu yang ditaro di meja atau dianter pelayan. Kami mengantri di depan etalase,
minta 4 mangkok bakso kuah dan sepiring bakso tahu–ini kalo di bekasi namanya
siomay–dan bayar di kasir dengan modal kepercayaan.
Gak nemu cuanki anget, makan
bakso juga bolehlah. Kuahnya enak tapi harganya lumayan mahal buat 3 gelondong
bakso kecil–13.500, seporsi bakso tahu yang gue abisin sendiri juga harganya
17.000 untuk 5 potong siomay kukus, atau kalian bisa ganti dengan tahu dan
sayuran. Ada juga siomay ma tahu goreng sebijinya 10.000, menggoda sih tapi
kalo pesen 5 biji 50.000 sendiri, lah mahalan siomay goreng daripada sekotak
bolen keju -___-
Stay strong
and
Take a long walk darling
0 Comment:
Post a Comment