...biar ku bagi sedikit kisah yang berbeda dari dunia percintaan...
Kami sudah bersama sama lebih
dari 5 tahun, hubungan kami selama tahun tahun itu seperti jalanan ibu kota
ketika pagi di hari pertama libur lebaran. Lengang. Lancar. Damai. Bahagia.
Bebas hambatan.
Kami berdebat di sekitar
bagaimana telur harusnya dimasak dalam satu mangkok mie. Aku suka setengah
matang ia minta dihancurkan. Aku ingin makan di ruang tanpa asap, ia harus
bertemu udara segar. Aku yang selalu mengantri untuk memesan makanan, sementara
ia yang membawa nampan. Aku menghabiskan kopi ketika panas, ia menunggu hingga
dingin dan beberapa hal kecil lain yang bisa kami selesaikan.
Less stress. Much laugh and
love.
Tapi segala hal yang mudah—nyaris terlalu mudah—dalam jangka waktu lama seringkali membosankan. Setidaknya begitu, menurutku.
Anehnya waktu mulai terasa
lebih menyenangkan ketika kami jauh, ketika tak saling menyapa, ketika tak ada
pembicaraan.
Perlahan namu pasti bagian otakku yang lain pun ikut mempertanyakan, Kenapa aku butuh waktu untuk sendirian? Dimana aku yang dulu? Kenapa kali ini berbeda? Kenapa rasanya aku
jahat? Kenapa ini tak seperti biasanya?
Belum habis dijawab pertanyaan sengau itu, datanglah hari hari
penuh bencana dimana kami lebih sering bertengkar, lebih jarang bertemu, aku
lebih sering menangis—padahal
5 tahun belakangan aku menangis hanya di saat nonton film atau karena tertawa
terbahak—kecewa,
marah, kesal, kecewa lagi, marah lagi, kesal lagi.
Hingga masing masing dari
kami terus mempertanyakan kadar cinta. 'Masihkah mencintaiku?' 'Masihkah ingin
berjalan bersamaku?' dan pertanyaan lain seperti rasanya kami hampir menyerah
tapi disaat bersamaan masing masing dari kami masih juga mempertahankan.
Lantas kami terus berjalan
walau terseok dengan penuh rasa canggung bahkan kami bertata krama dengan kaku seperti orang
asing yang baru saja bertemu.
Tentu saja banyak cara sudah
dicoba untuk mengembalikan kecanggungan tapi belum ada yang bisa
mencairkan bongkahan es dingin yang terlanjur membeku.
Berlarut larut hal yang
menjengkelkan ini membuat perasaanku tak bernyawa, hampa. Tak marah, tak suka,
tak cemburu, tak bernafsu melakukan apapun. Aku pergi bekerja seperti makhluk
tak berperasa, pulang seperti biasa dan begitu hingga beberapa minggu.
Hingga malam itu, sebuah
pelukan hangat begitu saja melelehkan bongkahan es besar yang membentengi, tawa
kami berderai membahas tingkah bodoh selama beberapa hari.
"Kamu cuma rindu. Makanya
marah marah mulu"
Begitu katanya.
Benarkah? Begini cara tubuhku
secara tidak sadar meneriakkan rindu? Mengapa otakku bahkan tak tahu? Mengapa
tak langsung saja bilang "Aku rindu temui aku" seperti aku yang biasa?
Tapi kemudian semua pertanyaan
itu tak penting lagi.
Aku kembali menginginkan ia tinggal lebih lama. Ingin ia selalu
datang menyapa atau aku yang berusaha lebih dulu, ingin lagi menghirup dalam dalam wangi yang menguar dari tubuhnya, ingin kami tertawa dan
bahagia seperti yang biasa kami lakukan.
Ya, aku mungkin pernah jenuh
dengan hubungan bebas hambatan, namun itu tak berarti aku senang dengan
pertengkaran atau perselisihan—yang menyulitkan—jenis apapun.
Aku hanya butuh sedikit hentakan yang
membuat sadar bahwa ia tetap satu satunya yang lari memeluk ketika aku limbung,
yang satu satunya menertawakanku ketika aku menangis merajuk, yang satu satunya
membawakanku pisau roti ketimbang boneka beruang besar yang selalu aku minta,
yang satu satunya membuatku menginginkan cintanya lebih dari apapun di dunia.
"Bukan masalah jika kau bosan
dengan sesuatu, itu manusiawi. Pada akhirnya kau juga yang memutuskan, balik
mengerjakan sesuatu itu dan lebih menginginkannya dari semula atau berhenti
karena berhasil tahu itu tidak pernah menyenangkan untukmu" —Vindi
0 Comment:
Post a Comment